Pages

Monday, March 9, 2015

Mei Hwa : Dan Sang Pelintas Zaman



Judul Buku : Mei Hwa :  Dan Sang Pelintas Zaman
Pengarang : Afifah Afra
Penerbit : Indiva
Tebal Buku : 368 Halaman
Tahun Terbit : Januari 2014, Cetakan Pertama




Dulunya saya sama sekali tidak suka sejarah. Sejarah bagi saya terlalu memusingkan untuk kembali diingat. Namun setelah negara api menyerang saya mencoba membuka diri terhadap bacaan yang berbau sejarah. 

Rupanya dugaan saya terlalu buruk. Dan faktanya sejarah sangat bisa dinikmati.

Seperti halnya dengan buku ini.

Sekali membuka halaman per halamannya. Saya tidak bisa untuk tidak menyelesaikannya. Meskipun saya juga tidak kuat untuk melahapnya sekaligus. *pikirannya cetek* 

Cekidot
Ini tentang pertemuan antara manusia setengah kayu dengan manusia setengah kapas.
Manusia setengah kayu merasa hidupnya tidak ubahnya sepotong kayu yang pelan-pelan tubuhnya, semakin renta dan kehilangan fungsi. Hanya onggokan belulang yang berlapis selapis tipis kulit. 
Sekar Ayu Kusumastuti
Sekar  adalah wanita lintas zaman. Kisahnya diceritakan dari rentang waktu yang cukup panjang. Antara tahun 1930- akhir 1990. *elap keringat* 
Hidup Sekar penuh balutan perisitiwa sejarah. Ia hidup di era detik-detik terakhir penjajahan kompeni. Pernikahan orang tua Sekar tidak mendapat restu yang cukup dari keluarga Ibu Sekar yang masih memiliki darah biru. *iya biru dongker.hehe*
Akhirnya pernikahan mereka berujung pada perceraian. Di sini Sekar yang saat itu usianya belum genap 7 tahun dan tidak mengerti duduk persoalannya harus menjadi korban.
Tidak lama, datang pasukan Jepang ke daerah jawa menggantikan kompeni. Pasukan Jepang inilah yang menjerat Sekar pada kehidupan kelam. Ia diperkosa, terseret menjadi Geisha, sampai mengantarkannya pada lingkaran Partai Komunis Indonesia.
Berikutnya ialah manusia kapas. Ia merasa jiwanya terbang setelah diperkosa pada saat peristiwa kerusuhan Mei 1998. 

Suryani Cempaka Ongkokusuma alias Mei hwa.
Seorang keturunan China yang tidak suka dipanggil Cina (?). Cempaka dilahirkan sebagai sosok yang nyaris sempurna. Perawakan cantik. Otaknya encer. Peraih IPK tertinggi di fakultas kedokteran UNS. Dan sangat dianjurkan Papanya untuk selalu menjadi terbaik. Sebagai keturunan Tionghoa.

Mei hwa punya pandangan yang tidak terlalu bagus pada pribumi. Terutama setelah kisah percintaannya harus berakhir tragis karana masalah etnis. Ia sempat patah hati. Sempat apatis. Sampai ia bertemu sosok Firdaus. 

Firdaus baginya seperti datang dari dunia lain. Dunia Firdaus adalah kebalikan dari dunianya. Jika selama ini ia selalu fokus pada akademik. Maka Firdaus terlalu sibuk dengan aktivitasnya sebagai ketua senat.

Mei Hwa jatuh cinta. Mereka berkenalan saat tak sengaja menolong korban kecelakaan lalu lintas. Pertemuan yang semakin mendekatkan ia dengan firdaus. Sekaligus pertemuan yang menurutnya menjadi asal muasal luka.

*tarik nafas*

Mbak Afifah Afra selalu identik dengan novel berlatar sejarah. Beliau sendiri yang mengungkapkan bahwa sejarah sudah menjadi makanan sehari-hari beliau sejak dulu.

Pantas! Saya sampai ngos-ngosan setiap kali adegan Sekar muncul. 

Berbeda ketika adegan Mei hwa, justru perasaan sayalah yang mendominasi. Meskipun ada sedikit kebingungan ketika Mei hwa lebih menyukai dipanggil China dibandingkan Cina. Lah? Emang apa bedanya? Hahaha.. 

Maksud saya, mbak Afifah tidak mendeskripsikan dibagian mana letak perbedaannya. Tentu tidak mudah jika pembaca disuruh membayangkannya sendiri.

Bagian yang paling menarik menurut saya adalah cara mbak Afifah mendeskripsikan tokoh lengkap dengan emosi yang dirasakan. Mbak Afifah memanfaatkan penggunaan sudut pandang dengan ciamik.

Sekar yang mengalami banyak lika-liku dalam hidupnya memiliki porsi adegan lebih banyak ketimbang Mei hwa. Uniknya, adegan Sekar diceritakan dari sudut pandang ketiga. Sedangkan Mei hwa diceritakan dari sudut pandang aku. Sehingga adegan Mei hwa yang kebagian porsi lebih sedikit bisa tergambar dengan baik dalam benak pembaca.

Sebenarnya bagus. Namun masalahnya adalah, saya greget setengah mati dengan Sekar. Hahaha. Sekar ini terlalu pongah dan keras kepala buat saya. Biasanya saya suka dengan perempuan sejenis itu *absurd*. Tapi untuk kasus Sekar ini berbeda. Sekar pongah untuk hal-hal yang menurut saya sangat amat merugikan dirinya sendiri sebagai perempuan. 

Saat laki-laki se-baik, se-sholeh, dan se-care Ahmad Al Faruk menikahinya, masak sih mbak (?) Sekar sama sekali tidak pernah sedikitpun menyimpan rasa? *eaaaa 

Tapi serius loh mbak. Lelaki macam Faruk. yang tahu mbak Sekar hamil karena Purnomo namun masih menerima mbak dan sangat menyayangi putera mbak. Populasinya sudah amat langka di muka bumi ini.hahaha *lalu jedotin kepala mbak Sekar*

Jadi saya pingiiiiin sekali mengetahui isi kepala mbak Sekar. Kenapa mbak kenapa? Uh.

Sementara dari sisi Mei hwa, duh kasihan sekali mbak(?) Mei hwa ini. T_T 

Mei hwa sampai pernah gila. Keluarganya dibunuh. Bisnis Papanya dibakar. Lalu nasib saudaranya juga tidak jelas keberadaannya. Astagaa mbak.. 

Beruntung Firdaus bersedia menikahi Mei hwa. Nah, disinilah masalah kedua, setidaknya bagi saya. Hahaha

Mbak Afifah tidak mendeskripsikan perasaan Firdaus pada Mei hwa. Saya sebagai pembaca kan, jadi curiga. Ini Firdaus menikahi Mei hwa karena memang suka atau karena rasa kasihan atau karena rasa tanggungjawab? *Pertanyaan penting*

Kemudian soal ending! Hahaha astagaaa kok bisa? kok bisa?" *mata melotot*

Saya suka endingnya. Sama sekali tak terduga.  Dan sukses membuat saya ingin membaca ulang supaya saya bisa lebih paham kenapa semuanya bisa terjalin begitu rapi.

Dan terakhir saya sangat suka dengan prolognya. Meskipun terlihat tidak penting, tapi prolog ini cerdas banget menurut saya.


Novel ini akan memberi wawasan kepada siapa saja yang ingin mengetahui peristiwa kerusuhan Mei 1998 dari sisi lain. Terutama untuk orang yang awam sejarah, kayak saya, pasti bakal terkaget-kaget tak percaya. Kasihan banget soalnya para korban kerusuhan itu. Sampai akhir hayat pun nggak yakin lukanya bisa sembuh.

Juga, kita akan melihat potret masyarakat Indonesia secara keseluruhan dari segenap lapisan dan lintas masa.
 
  

 



 

 
 



 


 



 

 
 

i'm back


Hahaha.

Ternyata sudah satu tahun blog ini tidak diisi. Pun tidak saya tengok lagi. 

*Ngepel n kipas-kibas blog*

Setelah hiatus sekian lama. Setelah passion menulis dan membaca sempat menurun. Setelah terjadinya banyak kemelut hati (?)

Setelah semua itu.

Saya rindu menulis resensi buku ala saya. Saya rindu memberitahu orang lain. Ini buku bagus loh, ini buku inspiratif loh, ini buku keren loh.

Hahaha

Jadi saya akan kembali menulis *tebar bunga*

Welcome again at the bookpediana.



 

Wednesday, October 16, 2013

Resensi #12 Negeri Van Oranje





Judul Buku : Negeri Van Oranje
Pengarang : Wahyuningrat, Adept Widarsa, Nsa Riyadi, Rizki Pandu Permana
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal Buku : 478 Halaman
Tahun Terbit : Agustus 2009, Cetakan ke Empat 





Saya mengambil buku ini dari rak buku awalnya tanpa ekspektasi. Jujur, covernya aja standard banget. Tidak membuat saya terpesona ketika pertama kali melihat, hmm ini pasti saya kena guna-guna untuk kemudian memboyong bukunya tanpa ragu ke arah kasir. Pasti ini! Guna-guna macam setting Eropa memang yahud membuat saya bertekuk lutut!

Lalu bertemulah saya dengan lima orang sekawan yang ditulis dengan empat orang sekawan. Entah pembagian menulisnya seperti apa, siapa yang menjadi siapa, yang jelas keempat penulis benar-benar menceritakan secara detail Belanda itu seperti apa, bagaimana caranya supaya bisa survive di sana, bahkan beberapa tempat dijelaskan lengkap dengan sejarahnya. Huwooo saya tertawa girang karena telah berhasil menemukan buku komplit informasi seperti ini.

Ketika menyebutnya sebagai buku panduan travel jelas kurang tepat, tapi sebagai novel pun rasanya tidak sepenuhnya benar karena buku ini mengemban misi terselubung yang membuatnya lebih dari sekedar novel.

Ide untuk menyematkan tips panduan di setiap akhir bab itu ide brilian, sungguh. Dengan tidak memaksakan isi tips, namun penulis mampu mengaitkannya dengan cerita yang dialami langsung oleh tokohnya. Nyaris tidak ada celah yang saya temukan, plotnya tersusun sangat rapi. Well mungkin ini masalah selera, namun melihat penulisnya yang terdiri dari 4 orang, bagi saya wajar karena masing-masing dari keempatnya pasti memiliki andil untuk saling menyempurnakan isi buku. Dan betapa tidak mudahnya melakukan hal tersebut.

Diksinya sama sekali tidak puitis, cenderung blak blak an. Bagi saya kesannya komunikatif dan tidak bertele-tele. Gaya penceritaannya santai namun ngena. Sama sekali tidak ada baku-bakunya, percakapannya cenderung spontan dan apa adanya. Saya suka, mengalir banget.

Begitu juga settingnya yang dikemas dengan cukup detail. Bahkan selipan sejarah di setiap kota yang menjadi tempat tinggal para tokoh tidak terkesan tempelan. Nyaris lancar dan saya bisa membayangkannya dengan baik.

Saya seakan turut berkenala bersama Wicak yang bermarkas di Wageningen, Lintang di Leiden, Daus di Utrecht, Banjar di Rotterdam, serta Geri di Den Haag. Mereka berempat bertemu secara tidak sengaja ketika terjadi hujan badan di Amersfort.

Perkenalan singkat yang dipersatukan oleh kegemaran mereka berempat pada kretek kecuali Lintang tentunya membawa mereka pada jalinan persahabatan yang seru. Mereka berlima berasal dari latar belakang yang berbeda-beda dengan modus yang juga berbeda-beda  kenapa harus menempuh pendidikan di daratan Eropa, nyemplung di Belanda.

Berikutnya adalah perjuangan masing-masing untuk menuntaskan pendidikan s2 mereka. Mulai dari Lintang dan Daus yang bergadang hampir tiap malam demi paper, Wicak yang menggenjot sepeda bolak balik kampus dengan jarak berkilo-kilo meter, Gary yang tertekan karena leletnya progress thesisnya,  sampai Banjar harus bekerja paruh waktu karena menipisnya uang di dompet.

Tidak hanya itu, jalinan persahabatan empat cowok dan satu cewek rasanya mustahil jika tidak melibatkan cinta, minimal cinta diam-diam. Dibaluti juga dengan ciamik tentang rasa Nasionalisme terhadap Negara tercinta di awali dengan pertanyaan klasik. Untuk apa pulang ke Indonesia? Hingga letupan idealisme bahwa memperbaiki Indonesia bisa dengan berbagai cara. Semuanya bercampur baur di satu novel ini.

Tidak ada yang sempurna, begitu pun dengan novel ini. Meskipun saya sendiri sangat menikmati ketika membacanya. Kelima tokoh di atas bukanlah orang yang alim meskipun saya pikir semuanya beragama islam. Namun juga masih meminum alkohol bahkan ada yang terjangkit virus kaum nabi Luth alias menyukai sesama jenis.  

Sependapat dengan seorang teman, membaca novel ini membutuhkan bekal open minded. Karena jika tidak maka kita akan terkukung dengan kebebasan yang ada di dalamnya. Mengingat para tokoh berperan sebagai Mahasiswa Indonesia. Salah-salah yang ada kita jadi salah kaprah, bahkan terjebak dengan kehidupan yang tidak baik di dalamnya.

Dan juga hal yang paling saya tidak suka justru menjadi pengikat persahatan para tokoh, oh kenapa harus rokok, kretek, dan sejenisnya? Kenapa bukan kesukaan yang lain? huhuhu

So Far, seraplah segala macam pelajaran dan informasi yang positif di dalam novel ini dengan tidak lupa mengenyahkan yang negatif.

Sangat direkomendasikan kepada segenap mahasiswa yang hendak berangkat melanjutkan studinya di Negeri kincir angin. Informasinya akurat, guys!






Monday, October 14, 2013

Resensi #11, Dilatasi Memori




Judul: Dilatasi Memori
Penulis: Ari Nur
Jumlah Halaman: 234
Penerbit: Mizan Pustaka
Tahun Terbit : 2008, Cetakan Kedua

 
Setelah  pelajaran Matematika kelas 3 SMA, siang harinya kakak kelas saya kembali heboh menjelaskan pengetahuannya tentang Dilatasi.

“Dilatasi itu bagian transformasi dalam matematika, yang berarti memperbesar atau memperkecil. Singkatnya adalah perubahan ukuran”

Maka Dilatasi Memori menceritakan tentang perubahan ukuran ingatan seseorang.

Rani dan Ryan terbilang sudah cukup sukses dalam mengembangkan biro arsitektur milik mereka, Albanna. Mereka dikaruniai seorang anak lelaki bernama Rifki. Ryan tetap bekerja di Kan Petra dan sesekali menengok Albanna membantu Rani. Suatu hari, Galih yang merupakan seseorang yang nyaris akan menikahi Rani di masa lalu, muncul. Kemunculan Galih ini bertepatan momennya dengan kemunculan Dea, seorang gadis yang pernah mengejar Ryan.

Di tengah pengerjaan proyek besar pertama Rani terkait pembangunan sebuah Mall, Dea sengaja membuat ulah, membuat Rani berprasangka yang tidak-tidak terkait Ryan. Sementara Galih yang single seakan kembali mengharapkan galih.

**

Novel ini adalah sekuel dari novel Diorama Sepasang Albanna. Kembali menceritakan kisah yang sama tentang Rani dan Ryan, bedanya di novel ini mereka sudah dikaruniai seorang anak dengan masalah rumah tangga yang klasik namun pelik. Kehadiran seseorang dari masa lalu masing-masing.

Masalah klasik bukan? Tapi Penulis berhasil membuatnya menjadi cerita yang tidak klasik. Saya agak takjub sebenarnya dengan kecemburuan Rani yang membabi buta terhadap Ryan, sayangnya saya tidak tahu jika berada di posisi Rani, saya bisa lebih tenang dari pada Rani atau justru lebih beringas lagi. Haha. Life!

Tema arsitektur semakin kuat dipaparkan di sini. Saya sangat menyukai konsep Mall yang akan dirancang oleh Rani, konsep memberikan kenyamanan terhadap pengunjung tanpa mengesampingkan tempat ibadah itu terdengar sangat keren bukan? Saya berharap benar-benar ada seorang arsitek perancang yang serius memikirkan hal ini. Meskipun saya sangat berharap penulis bisa sekaligus menampilkan sketsa gambar Rani. *halah banyak maunya*

Tidak ketinggalan masalah seputar pendidikan anak yang diselipkan apik di dalamnya. Bahkan termasuk memperlakukan pembantu di dalam rumah tangga yang masih termasuk amanah. Itu artinya, pendidikan agamanya pun termasuk dalam kewajiban kita untuk membimbing. Meskipun porsinya tidak besar, namun dakwah yang disampaikan justru lebih ‘dapet’. Mungkin karena di novel ini penulis meramunya dengan kejadian yang dialami Rani dengan orang-orang di sekitarnya.

Sebenarnya saya juga sebel sih sama beberapa karakter yang terkesan ‘tidak tahu diri’. Galih yang padahal mantan anak Rohis aktif, masih saja mengharapkan Rani. Padahal Rani sudah menikah dengan Ryan. Dulu dia meninggalkan Rani demi perempuan lain, eh sekarang dengan seenak jidat dia datang dengan sok-sok an tidak mempercayai kebahagiaan Rani di tengan Ryan. Cih!!*tendang*

Lalu Ryan yang ehem masih agak terjebak dengan Dea, gadis dari masa lalu Ryan yang paling dicemburui Rani.

Seharusnya Rani pun tidak langsung mempercayai apa yang dilakukan Ryan dengan Dea, seharusnya dia bisa memeriksanya terlebih dahulu. Terlebih dengan kreadibiltas keislaman Rani yang kuat. Duh, saya juga sensitif sih, tapi tentu saya memilih bertanya dari pada terkukung oleh anggapan yang berlebihan, dan sialnya itu tidak benar. Aaaaakkk beneran greget.

Bahkan Rani sampai mengabaikan Rifki ketika dia sakit. Kok ya, di sini Rani labil banget. Jujur, saya lebih suka karakternya di novel Pertama. Bahkan terkesan childish.

Dan dari situ saya belajar, komunikasi itu penting, apalagi dalam rumah tangga. Saya juga belajar untuk tidak seenaknya curhat masalah rumah tangga dengan orang luar, terutama yang ada kaitannya dengan hati kita di masa lalu. Jangan! BAHAYA NOMER SATU!

Adegan yang paling saya sukai ialah ketika Ryan yang mengambil alih proyek Rani namun dia tetap membiarkan penuh ide Rani berkembang. Tidak mengubah konsep awal sedikitpun. Ini juaraaaa banget!

**

Ibarat dilatasi, masa lalu pun sebenarnya bisa kita setting seberapa banyak dia bisa menginterferensi kehidupan masa depan kita. Mau duperbesar dalam ingatan atau justru kita ciutkan saja di pojokan, menjadi seonggok yang tidak lagi penting. 

Aku macih di cini
Untuk cetia

-lagu jikustik ala Liki ‘Rikfi’-

Sunday, October 13, 2013

Resensi #10 Diorama Sepasang Albanna








Judul : Diorama Sepasang Albanna
Penulis : Ari Nur
Penerbit : PT. Mizan Pustaka
Cetakan : Kedua, Mei 2008
Tebal : 216 halaman

Tugas seorang arsitek itu membangun kehidupan bukan merusak.
-Rani-

**
Maharani, seorang lulusan Arsitek yang mengadu nasibnya di Biro arsitek Kan Petra. Setelah sebelumnya memilih hengkang dari kantor lamanya karena masalah idealisme. Rani beranggapan bahwa seorang arsitek seharusnya membangun kehidupan bukan merusak. Dia memiliki impian kelak bisa mendirikan biro arsitek sendiri.

Sementara. Ryan adalah eksekutif muda yang perfeksionis, kaya, dan menjadi idola para wanita.
Di Kan Petra keduanya ‘kebetulan’ bertemu. Rani yang memulai karirnya sebagai drafter bersama tim 9 harus rela ‘disiksa’ oleh bosnya, yaitu Ryan. Diam-diam Ryan jatuh hati pada Rani. Keduanya memiliki latar belakang yang jauh berbeda satu sama lain, kecuali dalam urusan dakwah, mereka memiliki pemahaman yang sama.

Dan novel ini menceritakan tentang perjalanan bagaimana keduanya saling menemukan dan gesekannya dengan dunia arsitektur.

**
Saya membaca novel ini saat kelas 2 SMA, sukses terpengaruh kakak kelas saya yang cukup heboh menceritakan dua tokoh sentral di dalam novel. Rani dan Ryan.
Ketika berbicara Rani, maka kita akan mudah menemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Tipikal perempuan biasa. Idealisme dan keinginan untuk belajar itulah yang membuat Rani nampak berbeda.

Sementara Ryan, hmm saya tidak menyebutnya sebagai sosok yang sempurna. Meskipun secara fisik dan materi Ryan ini nyaris sempurna. Agak nggak masuk akal sih sebenarnya.haha betapa beruntungnya Ryan bisa hidup dengan seorang kakek yang kaya raya. Dan lebih beruntung lagi, karena Ryan ternyata pernah bersinggungan dengan dunia dakwah saat kuliah. Nilai dakwah inilah yang secara tidak langsung melindungi Ryan dari kehidupan glamor di sekitar dia. Tipikal eksekutif muda.

Novel ini mengusung tema yang tidak biasa, bahkan dunia asing yang tidak saya ketahui banyak, tentang arsitektur dan seluk beluknya. Saya yang awalnya cenderung awam dengan dunia ini menjadi sedikit terbuka wawasannya. Dunia arsitektur yang tidak sesederhana yang saya kira, tentang konsep perumahan islam, tentang filosofi bangunan, bahkan tentang konsep rapido yang diibaratkan sebagai senjata Arsitektur demi ‘kehidupan’ yang lebih baik.

Albanna sendiri menggambarkan tentang profesi mereka sebagai pembangun kehidupan, atau bisa juga dikaitkan dengan Hasan Albanna, tokoh favorit mereka berdua. meskipun saya masih nggak ngeh sih. hhuhuhu lolaa. Karena di buku memang tidak dijelaskan secara gamblang, hanya peran dakwah itu yang menurut saya jadi benang merahnya.heuheue

Selain itu, penulis juga menggabungkan tema arsitektur ini sedemikian romantisnya. Rata-rata pembaca yang pernah membaca novel ini pasti pengen nikah saat itu juga.haha minimal  mendambakan pernikahan yang ideal itu seperti apa. haha interaksi kagok antara Rani dan Ryan, beberapa penyesuaian di antara latar belakang keduanya yang berbeda cukup bikin senyam senyum sendiri.

Kejanggalan versi saya dengan cerita di novel ini ialah kisah kehidupan Ryan yang saya ceritakan di atas. Dan ‘kode’ yang mempertemukan Ryan dan Rani untuk yang pertama kalinya itu terasa FTV banget.haha

Dilihat dari segi ekonomi Ryan dan Rani, ini seperti kisah Cinderella di masa modern. Bedanya kisah ini bercampur dengan idealisme dakwah yang tidak sekedar menjadi tempelan belaka. Dan kisah setelah mereka menikah pun dituturkan secara apik.

Kebetulannya juga, saya membaca buku proses kreatif lahirnya buku ini. Tentang kehambaran yang dirasakan penulis terhadap dunia arsitektur di masa kuliahnya. Kondisi itulah yang membuat penulis meninggalkan jejak tentang dunia arsitektur, ketika mungkin nanti dirinya akan meninggalkan dunia itu. Menarik, karena justru saya menemukan cerita ini yang begitu hidup. Dan senangnya saya juga bisa mendapatkan ilmu baru.

Sikap tersebut sangat menginspirasi saya untuk melakukan hal yang serupa tentang dunia Fisika. hohoho

Anyway, saya suka sekali dengan judulnya. Bikin saya mikir waktu pertama kali membaca, hmm 'diorama' itu apa ya? haha




Popular Posts