Judul :
Ping A Message From Borneo
Penulis :
Riawani Elyta & habrina W.S.
Penerbit :
Bentang Belia (2012)
Tebal :
140 halaman
**
Seorang teman pernah berkata pada saya."Se jinak-jinaknya seekor binatang, dia tetap memiliki naluri binatang. Jadi tetap harus hati-hati dan jangan terlalu dekat dengan mereka"Membaca novel Ping, A Message from Borneo. Menarik saya kembali pada suasana ketika saya pun berpikir demikian, sama seperti teman saya.Sebelum akhirnya saya tertegun, tentang status yang sama antara saya dengan binatang. Sama-sama makhluk hidup.
Penuturan oleh mbak Shabrina WS yang
apik sebagai Orang Utan bernama Ping semakin menampar saya tentang fakta
tersebut. Bagaimana Ping merasa sedih ketika Ibu kandungnya dipaksa pergi,
bagaimana dia belajar beradaptasi di lingkungan baru setelah ibunya pergi,
bagaimana dia trauma setelah ibu keduanya dan saudara tirinya, Jong, juga ikut
dipaksa pergi. Bagaimana Ping merasakan semua yang juga bisa dirasakan oleh
manusia. Begitu pun dia juga ingin tenang dan berkumpul bahagia bersama
keluarganya, lagi-lagi sama dengan manusia.
Lalu keberadaan Molly, yang dalam
hal ini diperankan tak kalah apik oleh mbak Riawani Elyta. Molly yang masih
belia tapi sudah berpikir lebih sensitif di antara para belia lainnya yang
kurang peduli tentang isu lingkungan, khususnya satwa langka yang kian hari
kian punah.
Molly yang sangat menyayangi
binatang akhirnya berkesempatan mengunjungi salah satu hutan konservasi di
Borneo berkat ajakan teman bulenya, Nick. Perjalanan inilah yang mengantarkan
keduanya bertemu dengan Ping, orang utan yang tengah mengalami trauma akut
akibat pembabatan hutan terkait bisnis kepala sawit yang ternyata ada kaitannya
dengan Archi, teman SMA Molly yang juga diam-diam menyukainya.
Bagaimana interaksi antara Molly dan
Ping ketika keduanya bertemu? atau hasil signifikan dari konservasi yang
dilakukan antara Nick, Molly, dan Andrea adik Nick? atau kelanjutan hubungan
antara Molly dan Archie?
Novel setebal 140 halaman ini tentu tidak sekedar memberi jawaban dari sederet pertanyaan di atas, tapi juga banyak pesan yang bagus untuk lebih peduli terhadap kehidupan para satwa langka, khususnya kepada remaja.Saya pribadi sangat menikmati peran Molly maupun Ping yang lebih dominan di novel ini. Saya suka bagaimana Ping tumbuh dewasa bersama keadaan yang terus menerus tidak bersahabat. Saya suka cara Molly peduli terhadap satwa langka di sekitarnya. Saya suka alurnya, suka pesan yang ingin disampaikan kedua penulisnya. Juga sudut pandang dua ‘aku’ bernama Molly dan Ping.Tehnik penulisan novel yang menurut saya sangat tidak mudah. Mbak Shabrina dan mbak Riawani yang dituntut harus sama-sama melebur dan saling menutupi bolongnya cerita dengan sebaik mungkin, saling mengisi peran. Hebatnya lagi, interaksi keduanya hanya sebatas di dunia maya. Belum pernah benar-benar bertemu di dunia nyata.Meskipun masih ada beberapa logika cerita yang masih agak janggal buat saya. Perasaan yang diceritakan oleh kedua sudut pandang ketika mereka bertemu (Molly dan Karro) masih kurang seirama buat saya (di bab 6 dan bab 9). Penghubung di antara kedua bab itu masih kurang kuat buat saya pribadi, eh apa saya yang lemot ya? heuLalu tentang pembabatan hutan yang kurang dibahas, tentu isu bisnis kelapa sawit yang ternyata tidak ‘ramah’ hutan akan sangat menarik jika dijelaskan lebih detail. Saya juga baru tahu kalau hutan tempat tinggal Ping alias Karro telah dibakar paksa di bab-bab terakhir, sedangkan di awal diceritakan bahwa Ping dipaksa keluar dari hutan karena hendak dijual. atau memang karena mau dibakar jadi orang utannya dijual terlebih dahulu? siapa big bos dibalik pembakaran pun tidak terlalu detail dijelaskan selain clue bahwa Ayah Archie adalah pengusaha terbesar bisnis kelapa sawit. Saya sebagai pembaca merasa dipaksa untuk menuduh bahwa big bossnya adalah Ayah Archie.heheBanyak sebenarnya yang masih mengundang banyak pertanyaan di kepala saya, termasuk keberadaan Jong, saudara tiri Ping yang entah tiba-tiba lenyap. Mengingat keterbatasan halaman buku. Aahhh saya jadi berharap bahwa novel ini ada sekuelnya untuk menjelaskan pertanyaan demi pertanyaan yang membuat saya penasaran. hoho *maksa*
Saya juga menemukan pesan lain dari
novel ini yang cukup membuat saya terkesan terkait dengan hobby menulis Molly,
pekerjaan alm Ayahnya, dan kekhawatiran Mamanya
"Bahwa menulis bukanlah sesuatu
yang menghambat kewajiban dan aktivitas lainnya. Bahwa menulis harusnya
memiliki porsi yang pas dengan alokasi waktu yang membuat kita disiplin dengan
jadwal kita sendiri"
Saya sangat menyarankan novel ini
hinggap di rak-rak buku perpustakaan sekolah. Sarana lain untuk lebih mencintai
makhluk hidup lainnya, ya dengan membaca dan memahami pesan dari novel ini.
Sangat wajar jika novel ini menjabat juara 1 dari lomba novel 30 Hari 30 Buku
Bentang Belia. Good job buat mbak Shabrina dan mbak Riawani. :)
Anyway, saya pribadi kurang menyukai
orang utan dan segala jenis keturunannya. Subjektif sih, dulu saat SMP saya
pernah dicakar sampai kaki saya lebam2 soalnya.haha.. Traumaaa. Tapi bukan
berarti saya membenci mereka, saya hanya tidak bisa dekat-dekat dengan mereka.
Tapi saya juga sedih kalau populasi mereka semakin punah.heuuu
Rasa kurang suka berbeda dengan
benci ya.. hehehe
Novel duet memiliki kekhasan tersendiri ya, mba
ReplyDelete