Pages

Monday, October 14, 2013

Resensi #11, Dilatasi Memori




Judul: Dilatasi Memori
Penulis: Ari Nur
Jumlah Halaman: 234
Penerbit: Mizan Pustaka
Tahun Terbit : 2008, Cetakan Kedua

 
Setelah  pelajaran Matematika kelas 3 SMA, siang harinya kakak kelas saya kembali heboh menjelaskan pengetahuannya tentang Dilatasi.

“Dilatasi itu bagian transformasi dalam matematika, yang berarti memperbesar atau memperkecil. Singkatnya adalah perubahan ukuran”

Maka Dilatasi Memori menceritakan tentang perubahan ukuran ingatan seseorang.

Rani dan Ryan terbilang sudah cukup sukses dalam mengembangkan biro arsitektur milik mereka, Albanna. Mereka dikaruniai seorang anak lelaki bernama Rifki. Ryan tetap bekerja di Kan Petra dan sesekali menengok Albanna membantu Rani. Suatu hari, Galih yang merupakan seseorang yang nyaris akan menikahi Rani di masa lalu, muncul. Kemunculan Galih ini bertepatan momennya dengan kemunculan Dea, seorang gadis yang pernah mengejar Ryan.

Di tengah pengerjaan proyek besar pertama Rani terkait pembangunan sebuah Mall, Dea sengaja membuat ulah, membuat Rani berprasangka yang tidak-tidak terkait Ryan. Sementara Galih yang single seakan kembali mengharapkan galih.

**

Novel ini adalah sekuel dari novel Diorama Sepasang Albanna. Kembali menceritakan kisah yang sama tentang Rani dan Ryan, bedanya di novel ini mereka sudah dikaruniai seorang anak dengan masalah rumah tangga yang klasik namun pelik. Kehadiran seseorang dari masa lalu masing-masing.

Masalah klasik bukan? Tapi Penulis berhasil membuatnya menjadi cerita yang tidak klasik. Saya agak takjub sebenarnya dengan kecemburuan Rani yang membabi buta terhadap Ryan, sayangnya saya tidak tahu jika berada di posisi Rani, saya bisa lebih tenang dari pada Rani atau justru lebih beringas lagi. Haha. Life!

Tema arsitektur semakin kuat dipaparkan di sini. Saya sangat menyukai konsep Mall yang akan dirancang oleh Rani, konsep memberikan kenyamanan terhadap pengunjung tanpa mengesampingkan tempat ibadah itu terdengar sangat keren bukan? Saya berharap benar-benar ada seorang arsitek perancang yang serius memikirkan hal ini. Meskipun saya sangat berharap penulis bisa sekaligus menampilkan sketsa gambar Rani. *halah banyak maunya*

Tidak ketinggalan masalah seputar pendidikan anak yang diselipkan apik di dalamnya. Bahkan termasuk memperlakukan pembantu di dalam rumah tangga yang masih termasuk amanah. Itu artinya, pendidikan agamanya pun termasuk dalam kewajiban kita untuk membimbing. Meskipun porsinya tidak besar, namun dakwah yang disampaikan justru lebih ‘dapet’. Mungkin karena di novel ini penulis meramunya dengan kejadian yang dialami Rani dengan orang-orang di sekitarnya.

Sebenarnya saya juga sebel sih sama beberapa karakter yang terkesan ‘tidak tahu diri’. Galih yang padahal mantan anak Rohis aktif, masih saja mengharapkan Rani. Padahal Rani sudah menikah dengan Ryan. Dulu dia meninggalkan Rani demi perempuan lain, eh sekarang dengan seenak jidat dia datang dengan sok-sok an tidak mempercayai kebahagiaan Rani di tengan Ryan. Cih!!*tendang*

Lalu Ryan yang ehem masih agak terjebak dengan Dea, gadis dari masa lalu Ryan yang paling dicemburui Rani.

Seharusnya Rani pun tidak langsung mempercayai apa yang dilakukan Ryan dengan Dea, seharusnya dia bisa memeriksanya terlebih dahulu. Terlebih dengan kreadibiltas keislaman Rani yang kuat. Duh, saya juga sensitif sih, tapi tentu saya memilih bertanya dari pada terkukung oleh anggapan yang berlebihan, dan sialnya itu tidak benar. Aaaaakkk beneran greget.

Bahkan Rani sampai mengabaikan Rifki ketika dia sakit. Kok ya, di sini Rani labil banget. Jujur, saya lebih suka karakternya di novel Pertama. Bahkan terkesan childish.

Dan dari situ saya belajar, komunikasi itu penting, apalagi dalam rumah tangga. Saya juga belajar untuk tidak seenaknya curhat masalah rumah tangga dengan orang luar, terutama yang ada kaitannya dengan hati kita di masa lalu. Jangan! BAHAYA NOMER SATU!

Adegan yang paling saya sukai ialah ketika Ryan yang mengambil alih proyek Rani namun dia tetap membiarkan penuh ide Rani berkembang. Tidak mengubah konsep awal sedikitpun. Ini juaraaaa banget!

**

Ibarat dilatasi, masa lalu pun sebenarnya bisa kita setting seberapa banyak dia bisa menginterferensi kehidupan masa depan kita. Mau duperbesar dalam ingatan atau justru kita ciutkan saja di pojokan, menjadi seonggok yang tidak lagi penting. 

Aku macih di cini
Untuk cetia

-lagu jikustik ala Liki ‘Rikfi’-

2 comments:


Jangan sungkan-sungkan meninggalkan tapak tilas.hehe

Popular Posts