Pages

Wednesday, October 16, 2013

Resensi #12 Negeri Van Oranje





Judul Buku : Negeri Van Oranje
Pengarang : Wahyuningrat, Adept Widarsa, Nsa Riyadi, Rizki Pandu Permana
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal Buku : 478 Halaman
Tahun Terbit : Agustus 2009, Cetakan ke Empat 





Saya mengambil buku ini dari rak buku awalnya tanpa ekspektasi. Jujur, covernya aja standard banget. Tidak membuat saya terpesona ketika pertama kali melihat, hmm ini pasti saya kena guna-guna untuk kemudian memboyong bukunya tanpa ragu ke arah kasir. Pasti ini! Guna-guna macam setting Eropa memang yahud membuat saya bertekuk lutut!

Lalu bertemulah saya dengan lima orang sekawan yang ditulis dengan empat orang sekawan. Entah pembagian menulisnya seperti apa, siapa yang menjadi siapa, yang jelas keempat penulis benar-benar menceritakan secara detail Belanda itu seperti apa, bagaimana caranya supaya bisa survive di sana, bahkan beberapa tempat dijelaskan lengkap dengan sejarahnya. Huwooo saya tertawa girang karena telah berhasil menemukan buku komplit informasi seperti ini.

Ketika menyebutnya sebagai buku panduan travel jelas kurang tepat, tapi sebagai novel pun rasanya tidak sepenuhnya benar karena buku ini mengemban misi terselubung yang membuatnya lebih dari sekedar novel.

Ide untuk menyematkan tips panduan di setiap akhir bab itu ide brilian, sungguh. Dengan tidak memaksakan isi tips, namun penulis mampu mengaitkannya dengan cerita yang dialami langsung oleh tokohnya. Nyaris tidak ada celah yang saya temukan, plotnya tersusun sangat rapi. Well mungkin ini masalah selera, namun melihat penulisnya yang terdiri dari 4 orang, bagi saya wajar karena masing-masing dari keempatnya pasti memiliki andil untuk saling menyempurnakan isi buku. Dan betapa tidak mudahnya melakukan hal tersebut.

Diksinya sama sekali tidak puitis, cenderung blak blak an. Bagi saya kesannya komunikatif dan tidak bertele-tele. Gaya penceritaannya santai namun ngena. Sama sekali tidak ada baku-bakunya, percakapannya cenderung spontan dan apa adanya. Saya suka, mengalir banget.

Begitu juga settingnya yang dikemas dengan cukup detail. Bahkan selipan sejarah di setiap kota yang menjadi tempat tinggal para tokoh tidak terkesan tempelan. Nyaris lancar dan saya bisa membayangkannya dengan baik.

Saya seakan turut berkenala bersama Wicak yang bermarkas di Wageningen, Lintang di Leiden, Daus di Utrecht, Banjar di Rotterdam, serta Geri di Den Haag. Mereka berempat bertemu secara tidak sengaja ketika terjadi hujan badan di Amersfort.

Perkenalan singkat yang dipersatukan oleh kegemaran mereka berempat pada kretek kecuali Lintang tentunya membawa mereka pada jalinan persahabatan yang seru. Mereka berlima berasal dari latar belakang yang berbeda-beda dengan modus yang juga berbeda-beda  kenapa harus menempuh pendidikan di daratan Eropa, nyemplung di Belanda.

Berikutnya adalah perjuangan masing-masing untuk menuntaskan pendidikan s2 mereka. Mulai dari Lintang dan Daus yang bergadang hampir tiap malam demi paper, Wicak yang menggenjot sepeda bolak balik kampus dengan jarak berkilo-kilo meter, Gary yang tertekan karena leletnya progress thesisnya,  sampai Banjar harus bekerja paruh waktu karena menipisnya uang di dompet.

Tidak hanya itu, jalinan persahabatan empat cowok dan satu cewek rasanya mustahil jika tidak melibatkan cinta, minimal cinta diam-diam. Dibaluti juga dengan ciamik tentang rasa Nasionalisme terhadap Negara tercinta di awali dengan pertanyaan klasik. Untuk apa pulang ke Indonesia? Hingga letupan idealisme bahwa memperbaiki Indonesia bisa dengan berbagai cara. Semuanya bercampur baur di satu novel ini.

Tidak ada yang sempurna, begitu pun dengan novel ini. Meskipun saya sendiri sangat menikmati ketika membacanya. Kelima tokoh di atas bukanlah orang yang alim meskipun saya pikir semuanya beragama islam. Namun juga masih meminum alkohol bahkan ada yang terjangkit virus kaum nabi Luth alias menyukai sesama jenis.  

Sependapat dengan seorang teman, membaca novel ini membutuhkan bekal open minded. Karena jika tidak maka kita akan terkukung dengan kebebasan yang ada di dalamnya. Mengingat para tokoh berperan sebagai Mahasiswa Indonesia. Salah-salah yang ada kita jadi salah kaprah, bahkan terjebak dengan kehidupan yang tidak baik di dalamnya.

Dan juga hal yang paling saya tidak suka justru menjadi pengikat persahatan para tokoh, oh kenapa harus rokok, kretek, dan sejenisnya? Kenapa bukan kesukaan yang lain? huhuhu

So Far, seraplah segala macam pelajaran dan informasi yang positif di dalam novel ini dengan tidak lupa mengenyahkan yang negatif.

Sangat direkomendasikan kepada segenap mahasiswa yang hendak berangkat melanjutkan studinya di Negeri kincir angin. Informasinya akurat, guys!






1 comment:

  1. yang udah ibu2 kayak saya, kayaknya masih bisa juga baca buku ini, ya? :)

    ReplyDelete


Jangan sungkan-sungkan meninggalkan tapak tilas.hehe

Popular Posts