Pages

Friday, October 4, 2013

Resensi #3 : Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Judul buku : Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Pengarang : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka
Tahun terbit : 2010
Tebal : 264 Halaman
ISBN : 978-979-22-5780-9








Salah satu hal yang bikin pengen nyakar-nyakar tembok ialah mendengar kisah tentang dua orang yang sama-sama mencintai tapi tidak berakhir dengan happy ending. Lebih nyess lagi, karena keduanya sama-sama tidak pernah saling mengungkapkan sampai salah satu di antara mereka sudah menikah. *gali tanah.

**

Seperti kisah Tania dan Danar. Tania bertemu  Danar saat usianya menginjak 11 tahun, terpaut sekitar 14 tahun dengan usia Danar. Bagi Tania, Danar adalah malaikat penolong keluarga mereka. Sedang bagi Danar, Tania beserta keluarganya adalah keluarga baru dia juga.

Bertemunya Tania dengan teman dekat Danar, Ratna, membuatnya semakin menyadari tentang perasaannya yang istimewa terhadap Danar. Perasaan yang seharusnya tidak layak dia rasakan, tidak seharusnya dia mencintai malaikat penolongnya itu.

Tania akhirnya berusaha menyimpan perasaan itu rapat-rapat. Hanya ibunya yang tahu sampai beliau meninggal, dan Tania semakin berusaha menjadi yang terbaik demi membuat Danar bangga, dan juga siapa tahu kelak perasaannya terbalas.

Tapi ternyata semua menjadi serba tidak mudah semenjak kehadiran Ratna, apapun yang Tania rasakan menjadi sama sekali tidak ada artinya. Seperti daun yang tidak pernah membenci angin, seperti dia yang harus mengikhlaskan perasaannya pada Danar.

**

Bagi yang maniak membaca novel Tere Liye, pasti akan langsung ‘ngeh’ kalau novel ini ‘terasa’ agak kurang Tere Liye. Seperti membaca teenlit, bahasanya ringan dan renyah.

Tapi bukan Tere Liye namanya jika tidak menyelipkan pesan kebaikan di setiap tulisannya. Begitu pun di dalam tulisan ini, yang saya pribadi baru memahami maksudnya beberapa tahun setelah membaca novelnya. Hahaha lemotnya kambuh, huh.

Awalnya saya membaca buku ini setengah-setengah, agak males karena bahasa Tere Liye yang agak berbeda, tapi nanggung kalau tidak saya selesaikan. Dan untungnya benar-benar berhasil saya selesaikan meskipun dengan perasaan sedikit kecewa. Yah, kok bahasanya Tere Liye gini sih? Hehehe *ampun bang.

Di sana diceritakan, demi Danar Tania berusaha mati-matian mengejar ketertinggalan sekolahnya sampai bisa berhasil mendapatkan beasiswa ke luar negeri dan menjadi yang terbaik di sana. Seperti itulah bukan yang seharusnya kita lakukan jika mencintai seseorang? Terur, terus, dan terus memperbaiki diri. Semakin galau, semakin giat memperbaiki diri. Membuktikan pada yang dicinta bahwa kita ini layak untuk mendampinginya, ihiyyy.

Sayangnya, dengan segala usahanya itu. Tania juga tidak dapat ‘bersatu’ dengan Danar. Nyeseeek banget bagian ini, terlebih sebenarnya Danar pun diam-diam menyukai Tania. *Kan, gali tanah lagi*. Di poin inilah rasa ikhlas yang berperan. Seperti jatuhnya daun yang tidak pernah membenci angin, seperti Tania yang berusaha untuk tidak membenci takdirnya ketika bukan dengan dialah, Danar bersanding.huhu

Secara logika, jelas sulit sekali menemukan kisah jatuh cinta dengan usia yang terpaut sejauh itu di zaman sekarang. Meskipun ada tapi jarang. Setahu saya, sih. Jadi, si cowok terkesan pedofil. heuuu

Lalu gambaran adiknya Tania yang sedang dalam masa alay dengan suka mengganti nama ID nya di Chatting Room. Agak geli sih, bacanya.

Oh iya, saya suka sekali dengan endingnya. Tidak dipaksakan bahagia, dan saya sendiri sebagai pembaca dibuat mengerti kenapa harus endingnya seperti itu.

Buku ini sangat cocok untuk remaja meskipun saya lebih menyukai buku-buku Tere Liye lainnya ketimbang buku ini, ahhh  karena masalah selera saya yang setia dengan gaya penulisan Tere Liye yang biasanya.hehehe


Untuk remaja yang galau, yang dewasa juga sih. Baca ini gih! memotivasi untuk terus memperbaiki diri ketika jatuh cinta. Bukannya malah terpuruk. Juga, belajar ikhlas dengan segala ketentuan dan takdir Allah.

**

“Dulu Anne pernah bilang, orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tau lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.”

“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.”

Dua quote yang juaraaaa.. maknyes makjleb














7 comments:

  1. Judul bukunya membuat aku merenung. Sepertinya harus segera memburu buku ini...!

    ReplyDelete
  2. aku udah pernah ngereview bukunya. dan ini ternyata buku tere pertama yang aku baca kayaknya. hoho...

    btw aku suka caramu mereview deh neng :)

    ReplyDelete
  3. satu2nya buku tereliye yang udah aku baca. sederhana tapi entah mengapa begitu menyentuh

    ReplyDelete
  4. subhanalloh :) semua tulisan bang tereliye sangat menginspirasi.. banyak pelajaran hidup yang harus kita syukuri, belajar ketulusan, keikhlasan, kesetiaan.. dan cintaa. ya cinta. :)

    ReplyDelete
  5. Novel pertama Tere Liye yang saya baca. Kisahnya sangat inspiratif dan membuat orang berpikir. Jadi gak sabar mau membaca karya-karya Tere Liye yang lainnya.

    ReplyDelete
  6. buku yang ini ga dapet pembatas bukunya ya..

    *gubrak out of topic*
    :v

    ReplyDelete


Jangan sungkan-sungkan meninggalkan tapak tilas.hehe

Popular Posts